Siapa yang tidak tahu kamu?
Pada awalnya, aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu. Namun ketika aku akhirnya tahu kamu, kenapa semuanya berubah? Sebenarnya apa yang sedang memainkanku, pada saat itu… Dan juga saat ini?
Aku sudah menceritakan hal ini kepada beberapa temanku. Respon mereka sama semua: aku tak mengerti.
Baiklah, aku maklum kalian tidak paham. Karena aku sendiri juga tidak paham kenapa.
--Saat aku menulis cerita ini, mendung menggelayuti Yogyakarta. Bukan sekedar mendung, hujan jatuh bersama gelap yang menyergap. Dan kau tahu kan, aku tidak bisa menikmati hujan? Terlalu banyak kesedihan yang tercurahkan. Dulu aku bisa menangis kalau hujan turun. Aku tidak tahu kalau sekarang. Terlebih aku sedang menulis cerita yang tak bisa dimengerti orang lain, dan juga diriku sendiri.
Hari ini, 23 Oktober 2011, ada lomba tonti (PPI) di balai kota, bersamaan dengan adanya diklat PMR di sekolahku. Berhubung dekat aku berencana mau ke PPI kalau diklat sudah selesai. Temen-temenku berencana datang pas SMA-ku tampil, menjelang sore. Tapi sejujurnya bukan itu yang kucari.
Apalagi kalau bukan kamu? Kamu beserta timmu datang kan… Tentu saja. Tak mungkin kau lewatkan ajang bergengsi satu ini.
Payahnya adalah, sampai posting ini diterbitkan, aku belum juga ke sana. Dan bisa kupastikan, kau dan timmu sudah selesai tampil. Mereka tidak tahu, aku ingin melihatmu jauh lebih besar daripada aku ingin melihat yang lain.
Sukses untukmu... Asal kau bahagia, dan tersenyum.
Namun, aku tidak melihatmu hari ini.
Rasanya? Seperti sebuah sesal yang menampilkan wujudnya di pundakku, menekan kepalaku dan memaksaku menjerit. Okelah kau boleh menuduhku hiperbolis, tapi itu hanya karena kau tidak pernah merasakan yang seperti itu. Tak ada yang mengerti kan, seberapa besar sosoknya berpengaruh di diriku? Bahkan tanpa perlu kata-kata, ataupun sebuah relasi nyata? Seperti hanya sesosok nyata yang sekelebat lewat di depanku, lalu berkembang menjadi sebuah imajinasi memabukkan dalam pikiranku. Tidak ada yang mengerti kan seberapa besar keinginanku bertemu, hanya sekedar melihatmu, saat ini kan? Oh bukan hanya saat ini, tapi juga sebelum-sebelumnya… Bahkan tak sekedar datang ke lomba tonti ataupun pensi saja.
Bahkan aku rela mengubah diriku, sedemikian rupa, menjadi sosok yang tak pernah kubayangkan di SMP aku akan menjadi seperti ini.
Intinya, aku berubah karenamu.
Semuanya demi apa? Tujuan awalku, niat paling mendasarku, adalah kamu.
Dan sekali lagi, tak ada orang lain termasuk diriku yang mengerti ini.
Aneh… Padahal kalau dipikir, untuk apa aku melakukan semua ini? Apa yang kudapatkan, secara nyata? Bukan karena kalimatmu aku memperhatikanmu. Bukan karena keelokanmu pula aku sampai sekarang masih mempertahankan dirimu di pikiranku. Bukan pula karena tata kelakuanmu, ataupun hal-hal yang terjadi di dirimu. Bahkan, sama sekali bukan karena segala kelebihanmu, yang membuatmu paling menonjol di antara kawan-kawanmu. Bukan. Aku tak punya satupun alasan nyata. Tak ada relasi apapun, bahkan teman pun sepertinya tidak. Hanya sekedar tahu. Tidak saling sapa. Apalagi SMSan seperti teman-temanku yang lain.
Lantas apa?
Hampa kan? Padahal banyak yang bisa memberi alasan pasti untukku lebih dipikir. Mereka yang lebih dekat, memiliki relasi nyata, tidak sekedar hanya tahu. Tapi bahkan tak satupun bisa menggeser posisimu di otakku, yang bahkan tak memberiku apapun kan?
Bodoh. Aku tak butuh logika untuk itu semua. Cukup kamu. Titik.
Walau ini melelahkan, walau ini seperti harapan tanpa ujung, namun aku sudah terbang terlalu tinggi. Yang nantinya bila jatuh akan meremukkanku, sehingga aku hanya bisa bertahan. Mengambang. Heran, tidak menyakitkan. Justru kamu di pikiranku adalah anugrah. Setiap melihatmu tidak ada perasaan mengiris pilu, seperti kebanyakan cerita tentang manusia yang hanya bisa memendam perasannya. Yang ada perasaan aku terbang semakin tinggi, menjauhi daratan.
Aku tidak ingin jatuh.
Untuk itu, aku sama sekali tidak ingin kau tahu apa yang kurasakan. Apalagi mengerti. Cukuplah kau merasa tidak ada apa-apa, karena memang tak ada apapun untuk dimengerti. Sesuatu yang abstrak menjeratku dengan sempurna, mengikat simpul-simpul jiwaku, semuanya berorientasi pada sosokmu. Dan cukuplah kau diam, tak perlu menanggapi apapun. Karena memang tak ada apapun yang perlu ditanggapi.
Orang boleh menganggapku aneh, abnormal, atau gila. Namun tak seorangpun yang boleh meragukan perasaanku. Karena hanya itu yang kuyakini terhadapmu.
Biarlah ini tetap menjadi sebuah cerita.
ya ampun aku banget Ali :')
BalasHapuskalau mau cerita soal nathan boleh lho sama aku, neg gak mau yo gak papa :'))
huhuhu...nggerus baca postmu ini, berasa mbaca cerita hati sendiri :))
ya ampun gitu bgt deh. tpi aku tau "maksudmu". semangat Ali. astri to the point bgt deh :O
BalasHapusthat's why I wrote it -_-
BalasHapus