Tapi nyatanya, aku pun tahu, itu takkan benar-benar rampung hanya karena aku berteriak. Itu masih berjalan, beriringan dengan waktu yang membangun. Hanya saja dengan tokoh dan kata yang berbeda. Sakit.
Kenapa sakit?
Layaknya seeokor burung dalam sangkar . Aku tak berkata Ia merpati dalam sangkar emas, aku tahu perumpamaaan itu kelewat sempurna untuk dunia tanpa kira-kira ini. Ia adalah burung tanpa kicau, terjebak dalam sangkar karatan yang dibangunnya sendiri.
Sekalinya ia berusaha kabur, dan berhasil, ia justru masuk ke dalam sangkar-sangkar baru lainnya. Kabur lagi, untuk kemudian masuk dalam sangkar lain. Begitu terus, hingga akhirnya Ia tersadar.
Ini baru sangkar-sangkar dalam sangkar yang jauh lebih besar lagi. Sangkar yang terbuat dari emisi paham burung-burung lain. Dari kicau mereka, dari perkutut hingga beo. Dari kepak mereka, dari elang hingga pinguin antartika. Semuanya. Sangkar yang besar, besar sekali, jauh melampaui sangkar karatan itu.
Tak hanya sangkar itu. Ia mulai sadar, bulu-bulunya telah dirontoki satu persatu. Diganti menjadi tambalan dari bulu-bulu lain. Entah dari mana itu. Bulu milik bebek, nuri, pelikan, semuanya ditambal semerawut. Lalu seenaknya, mereka pergi. Membiarkan bulu tambalan itu pada tubuhnya, yang kemudian lepas karena tak ada perekatnya.
Apa kau mengerti ketika membacanya? Bila tidak, kau adalah burung yang telah kutulis itu. Terjebak dalam pikiran, harapan, dan arahan orang lain. Hingga tak tahu siapa sebenarnya ia. Saat Ia sudah yakin siapa dirinya, Ia hanya terjebak pada pemikirannya sendiri, khayalannya. Tak bisa kemana-mana. Tak ada lari. Pikiran pribadi itu ada dalam pikiran publik. Ia baru sadar dirinya dibentuk-bentuk sampai menjadi wujud yang tak dikenalnya. Burung yang rontok, kedinginan, kesepian.
BODOH!
Jangan lihat sangkarnya! Lihat ke dalam! Terus ke dalam! Lupakan segala kurungan memuakkan itu! Terus jauh ke dalam, jauh jauh sekali. Ukurannya memang mikroskopis. Tapi pengaruhnya menyentuh kuasar terjauh. Benar, di dalam tubuh burung itu, ada satu.
Satu.
Satu hati. Yang takkan bisa ditukar dengan bulu maupun sangkar apapun. Hati itulah, yang menunjukkan kemurnian seseorang. Jati dirinya. Kekuatan terpendamnya. Sesuatu yang secara utuh dimiliki sendiri. hanya berhak diatur oleh si empunya. Hati itu, mampu menumbuhkan bulu baru yang jauh menyaingi merak, mengubah besi karatan menjadi emas bersepuh intan.
Hati pula yang akhirnya menyelamatkan si burung.
Sesuatu telah meledak dari raga sang burung. Ia bermetamorfosis, mengabaikan pandangan burung lain. Mereka takkan sanggup berkata apa-apa. Pecah, berserak. Tak ada lagi sangkar yang mencegah si burung terbang bebas kemana-mana.
Bukan kicauan lain. Bukan mimpi bolongnya lagi. Ini hatinya yang terdalam menuntun, Ia temukan jawaban. Sesuatu yang indah di luar sangkar. Dirinya yang lebih cantik dari burung manapun. Dan yang terpenting, Ia bebas tentukan siapa dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ada comment ada senyum :)