Large Rainbow Pointer

Selasa, 27 Desember 2011

Mengerti, dan Terlambat.

Minggu yang teramat melelahkan, melenceng jauh dari rencanaku: seharian menonton tv, menyetel film-film natal yang bagus itu. Baik secara fisik, sampai pikirku. Aku yang awalnya terus menerus berusaha untuk mengerti, kini mulai menemuan keping jawabnya. Dan kenapa takkan pernah ada kata selesai ketika merasa usai.



Suatu kejadian menggugah satu sisiku yang mati suri. Aku tak boleh bercerita, meski aku mampu dan bisa. Itu terlalu personal bahkan bagiku, sesuatu yang telah berlangsung lama dan tak pernah bisa sekalipun kumengerti.


Ini seperti film natal bergenre D, tepat di mataku, tanpa kaca sebagai batasnya. Secara nyata benar-benar kurasakan hingga sumsumku.


Tahu apa orang-orang? Mereka hanya bisa berbicara terus menerus hingga berbusa. Termasuk aku pada awalnya, yang hanya mampu menutup mulut saja, namun membocorkan emisi pikiran yang sama.


Manusia punya rencana, Tuhan punya kehendak.

Cukup empatpuluhlima menit, dan sebagai klimaksnya dua menit. Hanya ada deru hujan, satu-satunya suara yang berkuasa di malam itu.

Tak perlu ribuan kata. Cukup sekilas melihat.

Bahwa ada sebuah kasih yang nyata, cinta yang tulus tanpa memandang apapun. Tak peduli itu cara yang kata orang benar, atau salah. Itu tetap cinta, dari sisi manapun dilihat. Itulah kasih yang nyata, bukan sekedar dialog di film natal malam itu. 

Satu gema yang menggetar di kalbuku. Itu tak ada apa-apanya dengan segala yang kuyakini sebelumnya. Kamus setebal atmosfer takkan bisa mendeskripsikannya. Aku diam, lagi. Kali ini tanpa emisi apapun. Hanya mengerti.

Tuhan memberi jawabanNya, bukan dengan kata belaka.

Dan satu kisah lain, masih menanti jawaban.

Kini diriku, yang terburu-buru menyimpulkan. Ya, aku tergoda. Tergoda bercenti senyummu, kerlingan nakal matamu, segala tingkah pola yang mengundangku masuk. Ratusan balas kataku yang membungkamku. Sebelum akal sehat datang menyadarkanku, aku tak peduli: ini sudah terlambat.

Lalu bagaimana lagi? Apa segalanya bisa kembali seperti semula? Tidak! Bahkan kini aku tak tahu lagi harus berpihak pada apa, atau siapa? Lagipula pedulikah kau?

Ya, aku sadar betul siapa kau. Tapi terlambat. Terlampau terlambat. Ibarat pepatah nasi telah menjadi bubur. Tinggal diberi bumbu saja agar lebih sedap. Aku hanya perlu mencari bumbunya. Semudah itu? Lagi-lagi satu tanya dungu!!

Cacianku, dengan semua huruf dan intonasinya, yang kulempar sembarang itu, apa kau sadar ada makna di baliknya? Bahwa dengan cerdas telah kuramu untuk mewakili segenap dayaku, yang terkuras ini? Yang baru sadar setelah hatiku digerogoti, hingga hanya bersisa rongga-rongga kosong di dalamnya? Ya aku kelewat terburu-buru, lalu ini yang harus kubayar?!

Kini dirimu kan, dengan tanganmu yang kelu menggenggam tangan gadis-gadis lainnya, dan sekarang entah dengan siapa. Tapi tanganmu tahu, hanya satu tangan yang dibutuhkan, untuk mengisi sela jemarimu.

Cukupkah?

Tak perlu ribuan kata untukku mengerti. Aku telah tersadar. Tapi itu tak merubah apapun saat ini. Mengerti tak cukup untuk hal ini. 

Aku tergoda. Seperti Hawa yang tergoda Buah Terlarang, kemudian jatuh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ada comment ada senyum :)